Monday, May 11, 2009

186 KM SABAN Tour De Banjarmasin-Takisung


Bukan mencari sensasi, tetapi saya hanya ingin menguji nyali. Bersepeda sepanjang 186 kilometer dari Handil Bakti ke Takisung pulang pergi telah saya jalani. Ditemani oleh Pak Jul temen dosen di Poliban, saya menempuh petualangan panjang dan melelahkan ini. Persiapan fisik dan mental harus matang, apalagi teman-teman di SABAN ( Sepeda Antik Banjarmasin ) sebagian meragukan. Berbekal tekad kuat saya memberanikan diri dan minta ijin kepada “tetuha” SABAN pada rapat persiapan peringatan Proklamasi gubernur Divre IV tentara ALRI. Ketua mengamanahi saya untuk menyampaikan surat undangan ke WASIAT ( Wadah Sapida Tuha) Tanah Laut. Tugas ini semakin memantapkan saya untuk berangkat. Seminggu menjelang keberangkatan saya menghubungi Pak H Ibnu Ahmad Maki ketua WASIAT di Peleihari. Beliau mengatakan siap menyambut dan menjamu makan siang. Ternyata rencana saya ini terdengar oleh saudara kami Banjarbaru Onthel Mania (BOM) dan mereka siap mengawal dan saya semakin mantap untuk mengayuh sepeda mendaki pegunungan untuk menyusuri pantai Takisung.
Secara fisik dan mental kami siap berangkat, tetapi sepeda yang saya naiki adalah sepeda Raleigh keluaran 1952. Sangat rentan kerusakan karena usianya. Maka saya pun memantapkan fisik sepeda dan perlengkapan pendukungnya. Sehingga malam Jumat menjelang keberangkatan, saya dan pak Jul mengadakan “technical meeting” di warung ronde depan UNLAM.
Jam 06.00 Jumat 8 Mei 2009 saya mengeluarkan sepeda untuk start, tidak lupa menelpon simbok di Boyolali. Di Liang Anggang sudah menunggu 4 orang BOM yang bergabung. Saya kagum dengan mereka, bukan hanya sepedanya yang udzur, tetapi bapak-bapak yang bernyali ini ternyata sudah cukup umur. Bahkan kami memanggilnya mbah.
Saat menjelang adzan shalat Jumat saya dan rombongan tiba di kota Peleihari. Di Masjid Al Manar kami istirahat dan shalat. Sesuai janji saya di tunggu di taman kota Peleihari depan kediaman Bupati TALA. Lima menit menunggu datang mobil pejabat menghampiri. Pak Haji Ibnu datang bersama anak dan istri menyambut kami. Setelah itu datang satu persatu anggota wasiat. Sungguh kami sangat terharu. Kehangatan suasana semakin terasa ketika kami menikmati hidangan daging menjangan yang sudah disiapkan. Suasana persaudaraan kami sangat terasa. Ketulusan terpancar dari penyambutan mereka.
Setelah selesai makan, teman-teman dari BOM pulang ke Banjarbaru dan kami melanjutkan ke perjalanan Takisung berdua. Menjelang Maghrib, saya tiba di desa Gunung Makmur sekitar 5 km dari Takisung. Saya bertemu dengan keluarga bapak ibu Kusnan. Keluarga asal Tulung Agung ini sangat bersahabat. Mereka menampakkan sikap sebagaimana “orang-orang kuno” yang bersahaja. Memuliakan tamu, menyayangi yang muda seperti anak dan mengajari kami tentang ajaran-ajaran kehidupan yang bermanfaat. Kami di jamu dengan makanan ala Jawa dan dibekali dengan wadai Banjar, Sulit sekali menampik kebaikan mereka. Tulus sebagaimana saya dapatkan dari Bapak-Simbok saya. Dengan halus saya menolak; “maaf pak/bu… kami menginap di pantai saja, maaf sudah merepotkan”.
Selama menginap di pantai pun kami merasa sangat aman dan nyaman. Pak Anang Saberi penjaga pantai takisung menjamin kebutuhan kami. “kaina bila handak bemalam lagi, teleponi aja paman, bepadah aja hendak ke wadah paman, insya allah kada di cegat lagi” sepenggal obrolan dengan Pak Anang.
Sabtu 9 Mei 2009 pagi usai shalat subuh saya pamitan dengan Paman Anang, tidak lupa saya mampir ke rumah pak Kusnan untuk sekedar berfoto. Sepeda pak Jul ada sedikit masalah di as belakang, Sambil melepas lelah di Taman Kota Peleihari saya bertanya dimana tempat bengkel sepeda. Setelah berputar-putar di pasar Peleihari saya tidak menemukan bengkel yang bisa memperbaiki sepeda. Lewat seorang mekanik sepeda motor, saya ditunjuki “orang pintar” yang bisa mengotak-atik sepeda di Jl Mufakat Peleihari. Pak Dani yang ahli sepeda ini ternyata tidak mau dibayar atas jasanya memperbaiki sepeda. Terimakasih pak, atas minuman dan kuenya, terimakasih atas jasanya. Sepeda pak Jul siap tempur dan kami pun segar kembali untuk mengayuh sepeda mendaki dan menuruni pegunungan Peleihari.
Jam 17.30 saya sampai di batas kota. Pak Narno, Pak Udin, Pak Wahyu menelpon, mengabarkan bahwa teman-teman SABAN menyambut di depan TVRI. Sungguh suasana haru bak penyambutan pahlawan yang pulang dari medan perang. Mereka mengelu-elukan saya. Sungguh malu rasanya, mereka berlebihan menyambut kepulangan saya. Koh Willi Poh menyambut kami dengan Es Buah yang segar di Siring Sabilal tempat biasa kami mangkal.
Sungguh perjalanan selama dua hari satu malam ini adalah perjalanan yang mengesankan. Kami menemui orang-orang yang berhati tulus, bersih dan bersahaja. Saya bertanya kepada teman saya yang Dosen di FKIP UNLAM: “Pak… apakah ini mutiara yang hilang itu…” teman saya menjawab: “Inilah yang saya cari di komunitas Sepeda tua pak Agil, nilai-nilai itulah yang membuat saya ingin bergabung di SABAN.”

2 comments:

Anonymous said...

Hebat....Salut...Angkat jempol
Bersepeda motor 60 km saja pinggang saya terasa pegal2, apalagi 186km dengan sepeda onthel ..hufff
Haru dengan cerita kekeluargaannya.
Salam buat rekan2 SABAN dan WASIAT (H Ibnu dkk

sabanis said...

matur nuwun mas... ini ada cerita berikutnya. semoga touring seperti ini selalu ada... Always riding forever.....